Jakarta, SindoNews.id - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru-baru ini dirilis terkait syarat pencalonan Capres dan Cawapres menuai berbagai reaksi dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Pada Webinar Moya Institute bertajuk "MK: Benteng Konstitusi?", banyak yang berpendapat bahwa MK telah melakukan penyimpangan dari perannya sebagai benteng konstitusi.
Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, menyatakan kekhawatiran tentang transformasi MK selama dua dekade terakhir.
"MK telah menjadi lembaga yang nyaris tak terkendali dan tidak memiliki mekanisme check and balances, sehingga rentan melanggar prinsip peradilan konstitusi. Terlebih lagi, MK sering kali membatalkan perubahan Undang-Undang (UU) yang dibuat oleh DPR dan Presiden untuk membatasi wewenangnya," kata Hendardi.
Salah satu poin yang paling menonjol dalam keputusan MK adalah keterlibatan MK dalam menguji syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Hendardi menegaskan bahwa MK, sebagai lembaga yang harus menjaga integritas dan konflik kepentingan, tidak seharusnya memeriksa UU yang mengatur dirinya sendiri.
"Ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip bahwa seseorang tidak boleh menjadi hakim dalam perkara di mana mereka memiliki kepentingan," sambung Hendardi.
Selain Hendardi, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, juga mengomentari keputusan MK yang sudah diantisipasi dan tampaknya mengikuti skenario tertentu.
"Banyak hal di Indonesia saat ini hanya dilihat dari sisi formalitas hukum, dan semakin terasa bahwa nilai-nilai konstitusi dan kebatinan terabaikan," jelas Abdul.
Senada, Dr. Sirojudin Abbas, Direktur Eksekutif SMRC, menyebutkan bahwa pola hubungan antara partai politik, Capres, dan Presiden Jokowi semakin tidak seimbang. Meskipun Jokowi memiliki tingkat persetujuan yang tinggi, DPR dan partai politik mendapatkan persetujuan yang rendah, dan ini membuat Capres sangat tergantung pada Presiden.
"Keputusan MK tentang syarat usia Capres adalah bagian dari upaya politik dan menciptakan ketergantungan terhadap Jokowi. Keputusan ini membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi, untuk maju sebagai calon wakil presiden (Cawapres)," pungkasnya.
Terakhir, Prof. Imron Cotan, seorang pemerhati isu strategis dan global, mengatakan bahwa keputusan MK tidak hanya melebihi permintaan awal tetapi juga mengundang kerancuan dan pertanyaan besar di kalangan masyarakat. Ia menyoroti kekhawatiran akan munculnya nepotisme dalam politik nasional.
"Keputusan MK membuka pintu bagi perangkap anti-reformasi, yang dapat membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Ia meminta agar mitigasi yang tepat dilakukan untuk menghindari gangguan sosial yang dapat merusak upaya menuju Indonesia Emas 2045," ucap Imron.
Sementara itu, situasi politik di Indonesia masih tegang setelah keputusan MK. Keputusan lanjutan dan tindakan selanjutnya akan sangat memengaruhi perjalanan politik dan demokrasi di negara ini. Diharapkan para pemangku kepentingan dapat bekerja bersama untuk mengatasi ketegangan ini dan menjaga integritas sistem demokrasi. Rill/Red
Post A Comment:
0 comments: